Oleh : Agung Marsudi
Pemerhati Geopolitik
DEMOKRASI dengan segala kredo kebebasannya, telah melahirkan perilaku para pemangku kepentingan politik yang makin angkuh, “siapapun boleh jadi apapun”. Asal partai politik di genggaman, “anyone can be anything”.
Kekuasaan menjadi komoditas yang diperjualbelikan. Rekomendasi dukungan calon kepala daerahnya misalnya, yang jamak berbasis jumlah kursi, seperti praktik ijon. Politik dan uang, terlanjur tak bisa dipisahkan.
“No free lunch”. Tidak ada sesuatu pun dalam hidup yang benar-benar gratis. Urusan hulu hilir kekuasaan, butuh uang. Tanpa itu, demokrasi tak berenergi.
Bupati boleh ibunya, Ketua DPRD boleh anak-anaknya, setengah anggota dewan pun boleh kerabat-kerabatnya, “siapapun boleh jadi apapun”, yang penting sesuai prosedur demokrasi. Partai politik menjadi tak bergigi, ketika berhadapan dengan “Piti” (bahasa Minang: uang).
Kalah menang, dirancang dengan uang
Wajah demokrasi di negeri junjungan, nampak glowing dari kejauhan. Banyak catatan dosa yang boleh jadi tak pantas dipaparkan, tapi itulah faktanya, dari era bupati Syamsural hingga sekarang. Berapa banyak “proyek-proyek mangkrak” yang hingga kini tak pernah diselesaikan.
Negeri ini seperti tak tersentuh hukum, atau masyarakatnya yang tak berani. Ketidakadilan terjadi di depan mata, tapi tak bisa berbuat apa-apa. “Jika anda bergetar dan geram setiap melihat ketidakadilan, maka anda adalah kawan saya” (Ayat-Ayat Kiri, Che Guevara). Kebenaran yang tidak diperjuangkan, tidak akan pernah dimenangkan.
Sihir demokrasi, telah membuat mata buta, telinga tuli, hati (nurani) terkunci. Sudah 512 tahun usia Bengkalis, tepatnya pada 25 Juli 2024 lalu. Sudah berapa banyak anggaran dihamburkan untuk perayaan. Lima abad lebih, tentu sudah banyak catatan sejarah ditorehkan. Tapi hingga kini, tak pernah dituliskan.
Meski sejarah katanya, ditulis oleh para pemenang.***
Bengkalis, 25 September