Khutbah Pertama:
اَلْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِيْ عَصَمَ القُلُوْبَ مِنَ الضَّلَالِ وَمَسَارِبِ التَفَاهَةِ، أَحْمَدُهُ سُبْحَانَهُ وَأَشْكُرُهُ، عَلَى كُلِّ خَيْرٍ وَفَضْلٍ وَزِيَادَةٍ، وَأَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، غَمَرَ النُفُوْسَ بِالإِيْمَانِ وَالسَعَادَةِ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ القُدْوَةُ المُثْلَى فِي الحُكْمِ وَالقِيَادَةِ، صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ الَّذِيْنَ قَادُوْا الأُمَّةَ لِلْسِيَادَةِ وَالرِيَادَةِ. أَمَّا بَعْدُ,
فأُوصِيكم ونفسي بتقوَى الله، قال اللهُ تعالى ,وَابْتَلُوا الْيَتَامَىٰ حَتَّىٰ إِذَا بَلَغُوا النِّكَاحَ فَإِنْ آنَسْتُمْ مِنْهُمْ رُشْدًا فَادْفَعُوا إِلَيْهِمْ أَمْوَالَهُمْ ۖ وَلَا تَأْكُلُوهَا إِسْرَافًا وَبِدَارًا أَنْ يَكْبَرُوا ۚ وَمَنْ كَانَ ,.غَنِيًّا فَلْيَسْتَعْفِفْ ۖ وَمَنْ كَانَ فَقِيرًا فَلْيَأْكُلْ بِالْمَعْرُوفِ ۚ.
Jamaah Jum’ah rahimakumullah,
Rasulullah SAW menganjurkan dan juga langsung mencontohkan untuk menyayangi dan menyantuni anak yatim.
Dalam Alquran, pada Surat an-Nisa’ Ayat 10 dan tafsirnya, dijelaskan bahwa Allah SWT mengancam keras orang-orang yang memakan harta atau hak anak yatim dengan cara yang tidak sesuai aturan agama Islam.
اِنَّ الَّذِيْنَ يَأْكُلُوْنَ اَمْوَالَ الْيَتٰمٰى ظُلْمًا اِنَّمَا يَأْكُلُوْنَ فِيْ بُطُوْنِهِمْ نَارًا ۗ وَسَيَصْلَوْنَ سَعِيْرًا
“Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api dalam perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api neraka yang menyala-nyala”. (QS an-Nisa’: 10)
Dalam penjelasan Tafsir Kementerian Agama, ayat ini mengandung arti, sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim tanpa alasan yang dibenarkan menurut agama serta menggunakannya untuk kepentingan diri mereka sendiri secara berlebihan, maka dengan perbuatan tersebut sebenarnya mereka itu memakan makanan yang haram dan kotor.
Maasyiral muslimin rahimakumullah,
Kapan diperbolehkan wali/pengasuh menyerahkan harta anak yatim yang diasuhnya?
Apabila telah diketahui anak yatim memiliki ke-shalih-an dalam masalah agama dan cerdas atau baik dalam mengelola dan menyimpan hartanya, maka tidak ada alasan bagi wali anak yatim yang menyimpan hartanya untuk menahan harta tersebut. Wali wajib menyerahkannya kepada anak yatim, jika ia memintanya.
Jika ternyata anak tersebut sudah baligh tetapi belum memiliki kecerdasan untuk mengelola harta meskipun dia sudah shalih dalam agamanya, maka menurut pendapat madzhab Miliki, madzhab asy-Syafii, madzhab Ahmad dan yang lainnya, harta anak tersebut tetap tidak boleh diberikan kepadanya, karena dia belum mencapai kecerdasan yang disyaratkan pada ayat di atas.
Sedangkan menurut madzhab Abu Hanîfah, anak yatim tersebut tidak boleh dibatasi hartanya jika dia sudah baligh, merdeka dan berakal, meskipun dia adalah orang yang paling fasiq dan sangat mubadzdzir (orang yang sering membuang-buang harta).Dalam hal ini, pendapat jumhur lebih kuat.
Dalam madzhab asy-Syafi’, jika anak tersebut sudah pandai menggunakan harta tetapi tidak bagus dalam urusan agamanya, maka terdapat dua pendapat.
Pendapat pertama, dia tetap di-hajr (dibatasi dalam penggunaan hartanya) dan ini adalah pendapat yang dipilih oleh Abul-’Abbas bin Syuraih.
Pendapat kedua, dia tidak di-hajr (dibatasi dalam penggunaan hartanya). Pendapat ini yang dipilih oleh Ishaq al-Marwazi dan yang lebih kuat dalam madzhab asy-Syâfi’i.
Wallahualam, pendapat inilah yang tepat, anak tersebut tidak lagi dibatasi dalam penggunaan atau pengelolaan hartanya. Karena, apabila seseorang sudah baligh, merdeka, berakal (tidak gila) dan sudah bisa mengelola harta dengan baik, maka anak tersebut memiliki hak untuk mengambil hartanya yang dititipkan kepada walinya.
Adapun mengenai penggunaan harta tersebut, apakah nanti akan dipakai untuk kebaikan atau keburukan, ketaatan atau kemaksiatan, maka ini adalah tanggung jawab anak tersebut di hadapan Allâh Azza wa Jalla dan bukan tanggung jawab sang wali.
Haram memakan harta anak yatim. Allâh Azza wa Jalla melarang kita memakan harta anak yatim dengan cara yang batil, sebagaimana difirmankan oleh Allâh Azza wa Jalla dalam ayat ini dan juga firman-Nya:
وَآتُوا الْيَتَامَىٰ أَمْوَالَهُمْ ۖ وَلَا تَتَبَدَّلُوا الْخَبِيثَ بِالطَّيِّبِ ۖ وَلَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَهُمْ إِلَىٰ أَمْوَالِكُمْ ۚ إِنَّهُ كَانَ حُوبًا كَبِيرًا
“Dan berikanlah kepada anak-anak yatim (yang sudah baligh) harta mereka, jangan kamu menukar yang baik dengan yang buruk dan jangan kamu makan harta mereka bersama hartamu. Sesungguhnya tindakan-tindakan (menukar dan memakan) itu, adalah dosa yang besar”. [An-Nisa’/4:2]
Sidang sholat Jum’at rahimakumullah,
Perlu diingat, jangan terburu-buru membelanjakannya.
Maksudnya adalah jangan terburu-buru membelanjakan atau menggunakan harta anak yatim tersebut, karena kalian takut mereka akan mencapai usia baligh sehingga kalian tidak mendapatkan manfaat dari harta anak yatim tersebut, setelah kalian menyerahkannya kepadanya.
Ini adalah perbuatan terlarang, karena wali yatim sengaja memanfaatkan harta anak yatim tersebut, dan sengaja menunda-menunda penyerahan harta tersebut kepada anak yatim (yang menjadi pemiliknya), agar ia bisa memanfaatkannya.
Batasan kebolehan mengambil harta anak yatim
Jika wali yatim adalah orang yang miskin, maka dia berhak untuk mengambil sebagian harta tersebut dengan cara yang ma’rûf (baik). Lalu, apakah yang dinamakan dengan ma’rûf dalam ayat ini?
Para Ulama berselisih pendapat dalam hal ini, di antara pendapat ulama tentang hal ini adalah sebagai berikut;
Yang dimaksud dengan ma’rûf adalah utang. Wali yatim jika dia miskin dan membutuhkan harta anak yatim tersebut maka dia boleh mengambilnya sebagai utang yang nanti harus dia bayar ketika keadaannya lapang dan dia tidak berutang kecuali sesuai kadar kebutuhannya yang mendesak saja dan tidak boleh lebih dari itu.
Ini adalah pendapat ‘Umar bin Al-Khaththab, Ibnu ‘Abbas, Said bin Jubair, Asy-Sya’bi, Mujahid, Abul-’Aliyah dan Al-Auza’i.
‘Umar bin al-Khattab Radhiyallahu anhu mengatakan, “Sesungguhnya saya menempatkan diriku terhadap harta Allâh, seperti saya menempatkan diri sebagai wali yatim dalam menjaga harta anak yatim. Apabila saya berkecukupan maka saya tidak akan menggunakannya. Tetapi apabila saya sedang dalam keadaan faqir, maka saya mengambilnya dengan cara yang ma’rûf (baik). Apabila saya mendapatkan kelapangan maka saya akan membayarnya.
Umar Radhiyallahu anhu menganggapnya sebagai utang yang harus dia bayar ketika dia mendapatkan kelapangan.
Sidang sholat Jum’at rahimakumullah,
Wali yatim yang miskin boleh mengambil harta tersebut untuk menutupi kelaparannya dan membeli pakaian untuk menutupi auratnya dan bukan untuk perhiasan, yaitu hanya sekedar upah pekerjaan yang dia lakukan untuk menjaga anak yatim dan dia tidak perlu menggantinya.
Ini adalah pendapat Ibrahim an-Nakhâ’i, ‘Atha’, al-Hasan al-Bashri, Qatâdah dan banyak ahli fiqh.
Qatâdah rahimahullah mengatakan, “Wali yatim yang miskin tidak perlu mengganti apa yang dia makan dengan ma’rûf (baik). Karena ini adalah hak orang yang mengurus anak yatim.”
Adalah Hasan al-Bashri mengatakan, “Dia adalah makanan yang Allâh berikan untuknya. Caranya adalah dia makan yang cukup untuk menutupi rasa laparnya, memakai pakaian yang menutupi auratnya dan tidak memakai pakaian yang mahal yang terbuat dari sutra dan tidak pula yang sangat bagus.”
Menurut pendapat kedua ini, wali yatim tidak perlu mengembalikan harta yang diambilnya karena itu adalah hak wali yatim tersebut.
Jika wali yatim ditunjuk oleh ayahnya maka dia boleh mengambilnya dengan tanpa harus berutang, sedangkan jika wali yatim tersebut ditunjuk oleh hakim atau pemerintah, maka dia hanya boleh mangambilnya dengan cara yang ma’rûf dan berutang. Ini adalah pendapat al-Hasan bin Shalih.
Wali yatim tidak boleh mengambil sedikitpun dari harta anak yatim, baik dengan cara ma’rûf ataupun tidak, karena ayat ini telah di-naskh (dihapus hukumnya) dengan ayat:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ
“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kalian makan harta di antara kalian dengan cara yang batil, kecuali dengan cara berjual beli yang didasari kerelaan di antara kalian”. [An-Nisâ/4:29]
Inilah yang dikatakan oleh Mujahid rahimahullah Zaid bin Aslam menambahkan bahwa rukhshah dalam ayat ini dihapuskan dengan ayat,
“Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zhalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka).” [An-Nisâ’/4:10]
Jamaah Jum’ah rahimakumullah,
Adapun yang dikatakan oleh orang yang membolehkan mengambilnya, maka kita tidak bisa menentukan besar imbalan atas jasa yang dia lakukan, karena jasa yang dilakukan oleh wali yatim sifatnya majhûl (tidak diketahui) atau tidak jelas, dan juga di dalamnya kita, tidak mengetahui ada ke-ridha-an ataukah tidak di dalam mengambil harta tersebut.
Apabila kalian telah menyerahkan harta kepada mereka setelah mereka baligh dan memiliki kecerdasan dalam mengelola harta, maka ketika itu serahkanlah harta-harta mereka kepada mereka. Apabila kalian telah menyerahkan harta-harta kepada mereka maka datangkanlah saksi-saksi untuk mengantisipasi adanya pengingkaran dari mereka pada suatu hari nanti dan menjadi bukti atas penyerahan tersebut.
Dan cukuplah Allâh sebagai Pengawas atas penjagaan mereka terhadap harta anak yatim dan Pengawas ketika mereka menyerahkan harta tersebut kepada mereka.
Imam al-Qurthubi rahimahullah menyebutkan pendapat lain tentang arti “adakan saksi-saksi”, beliau rahimahullah mengatakan, “ ’Umar bin al-Khattab dan juga Ibnu Jubair memandang bahwa persaksian ini hanyalah dilakukan jika orang yang diwasiatkan (mengurus anak yatim tersebut) telah mendapatkan kelapangan untuk membayar utang yang dia ambil dari harta anak yatim tersebut ketika dia sedang miskin.
Sidang sholat Jumat rahimakumullah,
Islam sangat memperhatikan kemungkinan terburuk yang akan terjadi jika terjadi perselisihan di antara manusia, terutama mengenai harta. Oleh karena itu, Islam mengenal akad tautsiqah (pengikat kepercayaan) dan juga persaksian-persaksian, agar nantinya tidak ada yang terzhalimi.
Dalam penyerahan harta anak yatim tersebut pun, sangat disarankan untuk mendatangkan saksi-saksi agar kelak nanti, anak yang menerima harta tersebut menyatakan harta yang diterimanya kurang, maka dia bisa menuntut dan memiliki bukti, begitu pula jika nantinya anak tersebut menuntut orang yang menjaga hartanya, maka orang yang menjaga hartanya pun bisa menunjukkan bukti penyerahannya.
بَارَكَ اللهُ لِي وَلَكُمْ فيِ القُرْآنِ العَظِيْمِ، وَنَفَعَنيِ وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ اْلآياَتِ وَالذِّكْرِ الحَكِيْمِ وَتَقَبَّلْ مِنيِّ وَمِنْكُمْ تِلاَوَتَهُ َإِنَّهُ هُوَ السَّمِيْعُ العَلِيْمُ.
أَقُوْلُ قَوْليِ هذَا أَسْتَغْفِرُ اللهَ ليِ وَلَكُمْ وَلِسَائِرِ الْمُسْلِمِيْنَ وَالمُسْلِمَاتِ وَالمُؤْمِنِيْنَ وَالمُؤْمِنَاتِ فَاسْتَغْفِرُوْهُ إِنَّهُ هُوَ الغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ.
Khutbah kedua
اَلْحَمْدُ للهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ، وَالْعَاقِبَةُ لِلْمُتَّقِيْنَ، وَلَا عُدْوَانَ إِلَّا عَلَى الظَّالِمِيْنَ.
أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاّ اللهُ ، وَأَشْهَدُ أَنّ مُحَمّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ الصَّادِقُ الْوَعْدُ الْأَمِيْنُ.
اَللهُمّ صَلّ وَسَلّمْ عَلى مُحَمّدٍ وَعَلى آلِهِ وِأَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدّيْن.
عِبَادَ اللهِ ، أُوْصِيْكُمْ بِتَقْوَى اللهِ وَطَاعَتِهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ.
قَالَ اللهُ تَعَالَى فِي الْقُرْآنِ الْكَرِيْم
إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيماً
اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ،وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ.
اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ، وَالْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ اْلأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَاْلأَمْوَاتِ.
اَللَّهُمَّ أَرِنَا الْحَقَّ حَقًّا وَارْزُقْنَا اتِّبَاعَهُ، وَأَرِنَا الْبَاطِلَ باَطِلاً وَارْزُقْنَا اجْتِنَابَهُ.
رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ. رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا. سُبْحَانَ رَبِّكَ رَبِّ الْعِزَّةِ عَمَّا يَصِفُوْنَ، وَسَلاَمٌ عَلَى الْمُرْسَلِيْنَ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ.
عِبَادَ اللهِ، إِنَّ اللهَ يَأْمُرُكُمْ بِالْعَدْلِ وَاْلإِحْسَانِ وَإِيتَآئِ ذِي الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَآءِ وَالْمُنكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ. وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ.
Editor : Soleh
Sumber : Disarikan dari berbagai sumber