Oleh : Agung Marsudi
Pengamat Geopolitik
PAGI ini, Senin yang cerah (16/9), jam 08.00 WIB, saya coba buka akun Instagram resmi para calon walikota Dumai pada kontestasi politik, 27 November 2024 mendatang.
Di layar gawai, h.paisal_official, milik petahana tercatat ada 1.160 postingan, 60,9RB pengikut, dan 165 mengikuti. Kemudian ferdigolkardumai, ada 86 postingan, 237 pengikut, 13 mengikuti. Kemudian akun eddyyatimcenter, 366 postingan, 1.184 pengikut, dan 326 mengikuti._
Angka-angka di atas meski tidak merepresentasikan angka elektoral setidaknya memberi gambaran kondisi, berapa jumlah para penyuka calon walikota, di media sosialnya.
Tak dapat dipungkiri, penggunaan media sosial telah memberikan kemudahan dalam berkomunikasi, yang tidak memungkinkan jika dilakukan _face to face_ karena faktor waktu, jarak dan biaya.
Media sosial telah menjadi sarana baru untuk menyampaikan pesan-pesan, bahkan informasi politik, dengan beragam, tulisan, gambar atau video. Berkembangnya teknologi, internet super cepat, kreativitas konten, diversifikasi platform, dan interaksi pengguna di era demokrasi, telah mengubah lanskap partisipasi politik warga, termasuk warga kota Dumai.
Berbagai platform media sosial seperti Facebook, Twitter, Instagram, dan YouTube telah menjadi alat yang efektif bagi para politisi dan partai politik untuk berkomunikasi dengan para calon pemilih potensialnya.
Teknologi informasi telah membuka jalan menuju demokrasi langsung dan menghilangkan hambatan komunikasi dalam proses demokratisasi. Menciptakan ruang baru untuk keterlibatan politik dan interaksi sosial.
Para calon walikota, tak ada salahnya hadir di “ruang baru itu” yang semua serba digital. Karakter teknologi internet pada dasarnya demokratis. Namun relasi teknologi dengan demokrasi cenderung dibingkai dalam polarisasi perspektif, antara kutub suka dan tidak suka.
Paisal, Ferdiansyah, Eddy M Yatim, hadir di era “post-truth”, era yang membebaskan, sekaligus menegangkan. Dalam konteks “post truth”, legitimasi atas sebuah kebenaran tidak berdasarkan pada fakta yang dapat diverifikasi, tetapi pada keyakinan personal, sesuatu yang menyentuh emosi dan rasa, suka-suka.
Pilkada di era “post-truth” memang membuat kita tak kuasa melawan, hegemoni medsos, mana suka siaran niaga.
“Selamat datang di Indonesia Maya, para penyuka calon walikota!”.***
Dumai, 16 September 2024